explicitClick to confirm you are 18+

Last Letter

deVavaNov 12, 2018, 8:38:05 AM
thumb_up47thumb_downmore_vert

Aku berdiri di depan rumahku. Menunggu sahabatku datang. Sepertinya pagi ini dia terlambat. Yah dia yang setiap harinya berangkat ke sekolah bersamaku. Pria yang selalu di dekatku. Aku menyukainya? Begitulah. Bagaimana tidak? Dia orang yang tampan, tinggi berkulit putih, dan dia orang yang baik. Dia tidak sekelas denganku, tapi dia selalu bersamaku.

Last Letter

“Uhuk uhuk!” Ahh tenggorokanku sakit. Kepalaku terasa pusing, dunia seperti berputar. Tubuhku terasa melayang. Pandanganku pun menjadi tidak jelas. Aku hampir terjatuh, tapi seseorang mendekap tubuhku. Aku tersadar dari rasa sakitku. “Kau kenapa? Wajahmu pucat sekali!” ucap seorang pria yang mendekapku tadi. Beberapa saat aku terdiam menatapnya. Wajahnya masih tidak jelas terlihat. Aku mengejap-ngejapkan mataku, memperjelas pandanganku. “Kevin?” ucapku perlahan. “Kau sakit?” tanyanya, sangat jelas kekhawatiran terlukis pada wajahnya. “Aku baik-baik saja!” Aku mencoba tersenyum. “Kau benar-benar baik-baik saja? Kau hampir pingsan!” ucap Kevin. “Aku hanya masuk angin. Ayo kita berangkat! Nanti terlambat.” Kevin menghela napasnya lalu menarik tanganku. “Ayo!”. Seketika rasa sakit yang kurasakan berkurang. Aku menatap wajahnya sambil melangkahkan kakiku. Senyuman ceria terlukis di wajahnya. Membuatku tidak ingin mengubah senyunya menjadi tangisan ketika mendengar kenyataan pahit yang ingin kuberitahukan padanya. Kenyataan bahwa aku akan pergi untuk selamanya. Jauh darinya. Tanpa ku sadari setetes air mata menetes di pipiku. Cepat-cepat aku menghapusnya.

“Kau sudah sarapan?” tanyanya lagi. “Sudah. Bagaimana denganmu?” tanyaku. Ia menarik napasnya dalam-dalam. “Aku belum!” “Aku akan menemanimu makan.” ucapku lalu mengeluarkan sebuah kotak makanan. Aku sudah menyiapkannya sejak tadi pagi. “Wow? Terimakasih.” Kevin tersenyum. Membuatku semakin sulit untuk melepaskannya. “Kita duduk di taman yah. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” “Emm!” Aku menganguk menyetujui ajakan Kevin.

Kami duduk di sebuah bangku di taman sekolah. “Emm ini enak. Kau memang pintar memasak.” ucap Kevin sambil melahap makanan yang kuberikan padanya dengan sendoknya. “Terimakasih. Oh ya! Apa yang ingin kau katakan padaku?” tanyaku. Kevin langsung menatap ke arahku. Ia lalu mengambil sebotol air mineral dan meminumnya. “Ini hal yang sangat serius.” ucapnya sambil terus menatapku. “Hal yang sangat serius? Benarkah?” tanyaku. “Ya. Aku menyukai…” Kevin menghentikan kata-katanya. “Siapa? Kau membuaku penasaran.” Aku berharap orang itu adalah aku. Aku menatap wajahnya dalam-dalam. “Aku menyukai Renny. Anak kelas 10.” Seketika kata-katanya membuatku terdiam. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya lagi. “Itu bagus! Akhirnya kau menyukai seorang gadis. Aku mendukungmu!”. Aku berusaha menyembunyikan rasa sakit yang kurasakan. Sakit yang amat dalam di hatiku.

Aku berbaring di tempat tidurku. Badanku rasanya lemas. Tak ada yang kupikirkan selain Kevin. Kreeek. Pintu kamarku di buka oleh seseorang. Kevin. Dia masuk ke kamarku dan duduk di sampingku. “Kau kenapa tidak memberitahuku?” tanyanya. Aku hanya tersenyum kecil. “Aku hanya demam. Jangan khawatir!” “Ini! Aku bawakan apel untukmu.” ucapnya sambil memberikanku sebuah bungkusan berisi apel merah. “Terimakasih.” ucapku sambil meletakkan bingkisan tersebut di meja di samping tempat tidurku. “Aku punya kabar gembira!” ucap Kevin. “Apa itu?” tanyaku. “Aku sudah pacaran dengan Renny”. Mendengar hal pahit itu aku hanya bisa menahan rasa sakitku dan mencoba tersenyum di hadapannya. “Itu bagus. Kau memang hebat” ucapku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Air mataku mengalir di pipiku. “Kau kenapa?” tanyanya lagi.

“Aku hanya sedih saja. Jika kau punya pacar kita tidak bisa bersama lagi.” kataku berbohong. “Kau ini! Aku akan tetap bersamamu walaupun aku sudah punya pacar. Kita sahabat kan?” Kevin lalu mengecup pipiku. “Terimakasih!” ucapku. “Cepat sembuh ya. Agar kita bisa ke sekolah bersama besok. Aku harus menjemput Renny. Dah!” Kevin mengacak-acak rambutku lalu keluar dari kamarku. Aku hanya memegangi pipiku. Tepat di tempat dia menciumku. Mungkin ini yang terakhir.

Satu bulan kemudian.

Aku merasakan kepalaku mulai sakit. Aku tidak bisa memberitahukannya kepada Kevin. Aku takut dia tau. Dia terus berjalan menggandengku. “Kevin!” Aku mencoba memanggil Kevin. Aku benar-benar tidak kuat berjalan lagi. “Ada apa?” tanya Kevin. Aku hanya terdiam. Tidak mungkin aku memberitahunya tentang keadaanku. “Kau pucat sekali. Kau sakit?” tanya Kevin. Ia terlihat khawatir. “Aku…” seketika pandanganku menjadi gelap. Aku hanya mendengar suara Kevin. “Ada apa denganmu sebenarnya? Kau semakin sering sakit. Huuhh cobalah untuk mengatakannya padaku.”

Perlahan aku membuka mataku. Aku sudah berada di kamar rumah sakit dan Kevin, ia duduk di sampingku. “Kau sudah sadar?” tanyanya lagi. “Ini sudah pukul berapa?” tanyaku. Kuharap ini belum terlambat untukku berangkat lagi ke sekolah. “Ini sudah pukul sembilan.” “Maaf! Karena aku kau tidak masuk sekolah.” “Kau kenapa sebenarnya? Aku tau ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku. Penyakit apa yang ada di tubuhmu?” tanya Kevin. Aku hanya terdiam. Air mataku mengalir deras di pipiku. “Jawab aku!” ucapnya lagi. “Aku tidak apa-apa.” “Bagaimana mungkin kau tidak apa-apa! Kenapa kau merahasiakan ini dariku?” “Aku…”.

Tiba-tiba ponsel Kevin berbunyi.

“Angkatlah!” ucapku. Dengan sangat terpaksa Kevin mengangkat telepon dari pacarnya itu. Aku hanya terdiam sambil menghapus air mataku yang terus mengalir. Mungkin dia akan segera tahu. Tentang penyakitku dan umurku.

Flashback End.

Rin berbaring di tempat tidurnya. Ia meletakkan buku diarinya. Kevin menatapnya dari luar. Berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ia mencoba untuk tersenyum dan masuk ke kamar Rin. “Hei teman!” panggilnya. “Kau sudah pulang sekolah?” tanya Rin. “Hmm. Aku hari ini tidak masuk. Aku ingin menemanimu. Renny juga sudah mengizinkannya.” ucap Kevin sambil duduk di samping Rin. “Bagaimana keadanmu?” tanya Kevin lagi. “Aku hanya sedikit pusing. Kau sudah makan?” tanya Rin. “Sudah.” ucap Kevin sambil tersenyum. “Aku ingin hidup lebih lama lagi. Aku ingin kita seperti dulu. Berangkat ke sekolah bersama, makan bersama.” air mata Rin mulai mengalir di pipinya. “Aku juga! Semangatlah! Aku yakin kau bisa sembuh.” “Aku tidak yakin. Kau harus berjanji padaku. Hiduplah dengan baik tanpaku. Jangan kecewakan Renny.” “Kau tidak boleh bicara begitu. Semangat!” Kevin berusaha menyemangati Rin. Gadis dengan wajah pucat itu hanya terdiam sambil menahan sakit yang ia rasakan. “Akh!” “Kau kenapa Rin?” tanya Kevin. “Jangan menangis! Aku tidak suka melihatmu menangis… mungkin kita akan bertemu di kehidupan selanjutnya. Berjanjilah! Kau akan tetap menjadi sahabatku.” Rin tersenyum. “Sudah kubilang jangan berbicara seperti itu!” ucap Kevin sambil sedikit berteriak.

Rin terdiam, belum pernah Kevin membentaknya seperti ini. Ia hanya terus menunduk memikirkan perasaan Kevin sekarang. “Maaf. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu. Kehilanganmu sama saja kehilangan separuh hidupku.” ucap Kevin lalu memeluknya. Ia terdiam didekapan laki-laki yang disukainya itu.

“Aku ingin keluar! Bisakah kau membawaku ke taman?” “Tapi…” ucap Kevin ragu. “Aku hanya ingin menikmati udara segar.” Rin tersenyum. Melihat senyuman sahabatnya itu, akhirnya ia membawanya ke taman di belakang rumah sakit.

Rin menarik napasnya dalam-dalam. “Udara di sini sangat segar.” ucapnya lagi. Kevin berlutut di depan Rin. “Kau mau makan sesuatu atau apa?” tanya Kevin sambil tersenyum dan menggenggam tangan Rin. “Aku hanya ingin kembali seperti dulu. Tapi aku tidak bisa.” ucap Rin sedih. Air mata Kevin mulai terbendung di pelupuk matanya. “Katakan padaku! Apa yang kau inginkan, aku akan mencoba mewujudkannya.” ucap Kevin sambil mencoba mengalihkan topik pembicaaraannya. “Aku hanya ingin kau dan orangtuaku bahagia.” ucap Rin lalu mengecup bibir Kevin dan setelah itu ia menutup matanya dan rebah di hadapan laki-laki yang dicintainya itu. “Rin! Rin!” Kevin berteriak memanggil nama Rin. Ia memeluk tubuh kaku Rin sambil menangis. “Aku akan menepati janjiku!” ucap Kevin.

Kevin berjalan sendirian sambil mengingat kembali kenangannya bersama Rin.

FLASHBACK

“Kau kenapa? Wajahmu pucat sekali!” ucap Kevin sambil menatap Rin— “Aku akan menemanimu makan.” ucap Rin lalu mengeluarkan sebuah kotak makanan. Aku sudah menyiapkannya sejak tadi pagi.” “Wow? Terimakasih!” Kevin tersenyum.– “Emm ini enak! Kau memang pintar memasak!” ucap Kevin sambil melahap makanannya– “Terimakasih. Oh ya! Apa yang ingin kau katakan padaku?” “Ini hal yang sangat serius!” “Hal yang sangat serius? Benarkah?”– “Itu bagus! Akhirnya kau menyukai seorang gadis. Aku mendukungmu. Fighting!” Rin berusaha menyemangati Kevin.– “Kau kenapa tidak memberitahuku?” tanya Kevin. Rin hanya tersenyum kecil. “Aku hanya demam. Jangan khawatir!”– “Aku sudah pacaran dengan Renny!” ucap Kevin bersemangat. “Itu bagus! Kau memang hebat!” ucap Rin. Air matanya mengalir di pipinya. “Kau kenapa?” tanya Kevin. “Aku hanya sedih saja. Jika kau punya pacar kita tidak bisa bersama lagi.”– “Jangan menangis! Aku tidak suka melihatmu menangis… mungkin kita akan bertemu di kehidupan selanjutnya. Berjanjilah! Kau akan tetap menjadi sahabatku.” Rin tersenyum dan menutup matanya.

FLASHBACK END.

Seorang gadis berdiri di samping Kevin dan menyerahkan sepucuk surat padanya. “Renny?” ucap Kevin heran. Renny hanya tersenyum. “Bukankah kau tidak boleh menangis? Rin tidak akan senang melihatmu begini. Fighting!” ucap Renny sambil menyemangati Kevin. Butir-butir airmata mengalir di pipinya. Kevin memeluk Renny. “Terimakasih!” ucap Kevin. Ia melepaskan pelukannya dan membuka surat dari Rin.

~ Aku menyukaimu! Mungkin hanya ini yang bisa ku katakan. Sudah lama aku memendamnya. Mungkin ini saat yang tepat untuk menyampaikannya. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Ku harap kau tidak akan melupakan semua kenangan yang telah kita lalui. Terimakasih! kau selalu menemani hari-hariku. Aku selalu menyayangimu!~ Air mata Kevin menetes saat melihat isi surat tersebut. “Maaf! Aku benar-benar tidak tau tentang perasaanmu. Aku benar-benar egois.” Kevin dan Renny memandang ke arah langit. Berharap Rin ada di sana. Memandanginya… dan tersenyum padanya.

Selesai...

Karya : C. Hanna